oleh

Kesaktian Pancasila dalam Bingkai Falsafah Minangkabau: Suatu Telaah atas Nilai Musyawarah dan Keadilan Sosial dalam Mamangan Adat

PENULIS: AISYAH KHAIRANI | FAKULTAS ILMU BUDAYA – UNIVERSITAS ANDALAS

Dalam kerangka kehidupan berbangsa, Pancasila hadir sebagai dasar ideologis yang bukan hanya mengatur arah penyelenggaraan negara, tetapi juga menggambarkan karakter kebudayaan Indonesia yang hidup dalam keberagaman. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober memberikan ruang refleksi untuk menegaskan kembali relevansi nilai-nilai tersebut di tengah dinamika sosial yang bergerak cepat. Kesaktian itu bukan semata-mata simbol kekuatan negara, namun merupakan manifestasi ketahanan nilai-nilai luhur bangsa yang terus berakar dalam kearifan lokal, salah satunya pada Falsafah Adat Minangkabau.

Dalam masyarakat Minangkabau, nilai adat tidak sekadar menjadi benteng kultural, tetapi juga membentuk pola pikir kolektif yang secara historis telah sejalan dengan prinsip-prinsip dasar negara. Pepatah adat atau mamangan hadir sebagai panduan yang mengatur hubungan sosial, pola kepemimpinan, serta tata hidup bermasyarakat. Melalui mamangan tersebut tampak bahwa sila-sila Pancasila, khususnya yang berkaitan dengan musyawarah dan keadilan sosial, bukanlah konsep asing yang datang dari luar, melainkan cerminan dari nilai yang telah lama hidup dalam keseharian masyarakat Minang.

Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS–SBK) merupakan struktur nilai yang kokoh dan menjadi fondasi moral masyarakat Minangkabau. Di dalamnya terkandung prinsip rasionalitas, religiusitas, serta keseimbangan sosial. Hal ini memperlihatkan bahwa Pancasila, terutama sila keempat dan kelima, menemukan resonansinya secara kuat dalam adat Minang. Nilai tersebut bukan hanya dipahami secara teoritis, tetapi juga diwujudkan dalam praktik sosial yang nyata dan berkesinambungan.

Prinsip musyawarah mufakat merupakan salah satu nilai yang paling identik dalam tradisi Minang. Konsep ini hadir dalam mamangan “bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik,” yang menegaskan bahwa keputusan hanya dapat dianggap sah apabila lahir dari kesepakatan bersama. Dalam sistem adat, tidak ada keputusan penting yang diambil secara sepihak, bahkan oleh penghulu. Tradisi ini merepresentasikan nilai deliberatif yang sejalan dengan Sila Keempat Pancasila yang menekankan permusyawaratan dan hikmat kebijaksanaan dalam proses pengambilan keputusan.

Selain mufakat, pemimpin dalam adat Minang diwajibkan mempertimbangkan landasan adat, syarak, dan akal sehat sebelum menetapkan keputusan. Hal ini tergambar dalam falsafah “duduak surang batigo,” yang mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak pernah benar-benar memutuskan seorang diri; ia harus memadukan tradisi, ajaran agama, dan rasionalitas. Falsafah ini memperlihatkan kedalaman nilai kebijaksanaan dalam sistem adat, sejalan dengan makna “hikmat kebijaksanaan” dalam sila keempat.

Dalam konteks keadilan sosial, mamangan adat Minang kembali memperlihatkan kedekatannya dengan nilai Pancasila. Pepatah “adil ka nan tagak, luruih ka nan bapaham” menegaskan pentingnya keadilan yang proporsional dan sesuai hak setiap individu. Keadilan tidak dimaknai sebagai keseragaman mutlak, tetapi sebagai upaya menempatkan semua pihak pada posisi yang seharusnya. Makna ini secara substantif menyatu dengan Sila Kelima Pancasila yang menuntut pemerataan, keadilan, dan perlakuan yang setara bagi seluruh rakyat.

Prinsip keseimbangan dan pemerataan terlihat pula dalam mamangan “nan bungkuak dimakan saruang, nan singkek ba uleh,” yang mengajarkan bahwa kekurangan seorang anggota masyarakat harus dilindungi oleh kekuatan kolektivitas. Pepatah ini menyampaikan nilai solidaritas sosial dan keadilan distributif, sebuah prinsip yang telah lama hidup dalam masyarakat Minang, jauh sebelum konsep keadilan sosial dirumuskan dalam struktur formal Pancasila.

Pengelolaan harta ulayat, pembagian peran keluarga matrilineal, hingga sistem gotong royong dalam kehidupan nagari merupakan contoh nyata bahwa keadilan sosial tidak berhenti pada prinsip moral, tetapi hadir dalam bentuk mekanisme sosial yang operasional. Dalam konteks ini, masyarakat Minang telah menjadikan keadilan sebagai prinsip yang hidup, bukan sekadar konsep normatif. Hal ini memperkuat pemahaman bahwa sila kelima Pancasila merupakan elaborasi modern dari nilai-nilai yang telah lama berlangsung dalam adat.

Musyawarah yang berlangsung di balairung nagari menggambarkan demokrasi deliberatif yang kuat. Prosesnya tidak hanya melibatkan penghulu, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat seperti cadiak pandai, alim ulama, dan bundo kanduang. Struktur partisipatif ini memperlihatkan mekanisme representasi sosial yang selaras dengan semangat demokrasi Pancasila. Peran perempuan sebagai bundo kanduang juga menegaskan bahwa Minangkabau memiliki struktur keadilan gender yang khas, yang memberi ruang bagi perempuan sebagai penjaga moral dan adat.

Secara historis, hubungan antara Minangkabau dan Pancasila semakin kuat apabila ditinjau melalui kontribusi tokoh-tokoh Minang terhadap proses pembentukan bangsa. Mohammad Hatta, salah satu proklamator dan perancang sistem ekonomi kerakyatan, membawa gagasan-gagasan yang sangat dipengaruhi oleh kultur sosial Minangkabau. Pemikirannya mengenai koperasi, pemerataan, dan solidaritas ekonomi merupakan contoh konkret bagaimana nilai adat mengalami elaborasi dalam kerangka kebangsaan.

Dengan membaca kembali Falsafah Adat Minangkabau melalui perspektif Pancasila, tampak bahwa Kesaktian Pancasila bersumber dari kemampuannya menyatu dengan nilai-nilai lokal yang telah teruji waktu. Kesaktian itu bukan terbentuk oleh kekuatan politik belaka, tetapi oleh kedalaman nilai dan kemampuan adaptasinya terhadap kearifan budaya yang beragam. Dalam konteks ini, Minangkabau bukan hanya menjadi contoh keselarasan nilai, tetapi juga menunjukkan bagaimana Pancasila memperoleh kekuatannya dari warisan budaya bangsa.

Akhirnya, telaah ini menegaskan bahwa Pancasila dan Falsafah Adat Minangkabau berada dalam hubungan saling menguatkan. Musyawarah, mufakat, solidaritas, dan keadilan sosial merupakan nilai yang tidak hanya mengikat masyarakat Minangkabau, tetapi juga menjadi fondasi kuat bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian, Hari Kesaktian Pancasila menjadi momen untuk mengakui bahwa kekuatan Pancasila berakar dari kedalaman nilai budaya yang telah lama hidup dan diwariskan dalam masyarakat Nusantara, termasuk dari ranah Minang.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *