Meranti | IP.net — Belakangan ini isu pencaplokan lahan tengah marak terjadi di berbagai daerah. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui langkah yang tepat untuk menghindarinya. Karena tanah merupakan salah satu aset paling menguntungkan karena harganya yang stabil dan naik setiap tahunnya.
Hal tersebut bisa saja terjadi dengan memanipulasi data, seperti mengambil atau mengaburkan kepemilikan orang lain demi mengambil keuntungan pribadi, Perbuatan ilegal ini tentunya akan merugikan siapapun karena termasuk tindakan yang melawan hukum, Mudah2an hal seperti ini tidak terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti.
Maryanto alias Aho, kepada media ini menceritakan kronologis tentang tanah kebon sagu dengan luas 281 jalur, sewaktu ditemui media ini dirumahnya, Senin 05/09/2022. Maryanto yang pada saat itu didampingi rekannya bernama Mulyadi menceritakan awal mula tanah yang menjadi haknya didapat dari hasil jerih payahnya yang ia beli dari Munir, warga desa Alai Kecamatan Tebing Tinggi Barat dengan batas Sebelah Utara tanah maryanto, timur tanah hutan, selatan tanah Atang, Barat tanah Maryanto.
“Ada juga yang saya beli sama Hamdan warga kampung Alai pada tahun 1991, dengan batas Sebelah Utara dengan Maryanto, Timur tanah hutan, Selatan tanah hutan, Barat dengan tanah Aliman, posisi tanah di Bagi Arus Alai, artinya udah puluhan tahun yang lalu sudah menjadi milik saya ungkap Maryanto Tampa ada bermasyalah, namun anehnya muncul masyalah bermula dari tanahnya yang mau diganti rugi oleh perusahan EMP untuk buat jalan sepanjang satu kilo (1.000 M2), merasa hak saya, tentu perundingannya antara saya dan pihak perusahan”, ungkap Maryanto.
Namun, lanjut Maryanto, ditengah perundingan saya sama pihak perusahan, muncul pula kelompok tani tunas harapan yang mengakui pula milik kelompok mereka pada lokasi tanah yang sama. Tentu ini yang membuat saya tidak senang, untuk itu saya melaporkan mereka kepolisi dengan tujuan menyelesaikan masalah, pada tgl 22 / V /2020. Dengan nomor STPL/47/4/2021/RIAU/SPKT RES.KEP.MERANTI.
“Namun hal tersebut jadi berlarut larut, akhirnya saya mengambil suatu inisiatif untuk berdamai saja dengan kelompok tani tunas harapan, Toh tanah tersebutkan juga milik saya”, kata Maryanto.
Maryanto menjelaskan, dalam kesepakatan damai disepakati berdamai di notaris Husnalita, SH, MKn. Notaris / PPAT , SK MENTERI HUKUM dan HAM RI tanggal 29 Desember 2006, NO.C -480.HT 2006, Jln Tengku Umar no 91A.
Selatpanjang.
Setelah dilakukan perdamaian dari notaris dengan no 12 tanggal 16 Maret 2022, namun sedikit mengganjal dalam benak saya (kata Aho) adalah tentang posisi dan luas tanah milik masing – masing dari pada kelompok tani, tentu sebelum dibuat kesepakatan perdamaian dinotaris, oleh pihak notaris turun dulu kelapangan, mengukur tanah yang semula menjadi punca masalah, namun diduga tidak dilakukan oleh pihak notaris.
Munurut Maryanto, tanahnya di bagi arus pernah ia jual sama Atang seluas 10 Ha dan sisanya kepunyaan Aho semua.
“Jadi intinya saya tidak manipulasi data tentang keberadaan tanah kebun saya yang berlokasi sei Bagi Arus”, ujar Maryanto.
Dikesempatan yang sama, Mulyadi selaku rekan maryanto alias Aho menambahkan, bahwa ketika membuat perdamaian di notaris Husnalita diduga pihak notaris tidak turun kelapangan membawa juru ukur, sehingga lokasi dan luas tanah tidak terkonfirmasi dengan jelas, sementara inilah yang membuat pertikaian antara maryanto alias Aho dengan kelompok tani tunas harapan.
Menurut Mulyadi dalam waktu dekat, akan membawa kasus ini ke pengadilan melalui pengacara, “biar kasus tersebut terungkap, karena banyak kejanggalan dan sangat merugikan maryanto alias Aho”. Pungkasnya.
Komentar